“Hei, tunggu aku!” teriaknya sambil mengikat tali
sepatunya dengan cepat.
“Kau lama sekali, tidak biasanya kau lemot seperti
ini. Ada apa, kau sakit?” kataku sambil mengecek keadaannya. Aku tidak
mendapati suhu tubuhnya berubah ataupun wajah pucatnya, beginilah sifatnya yang
paling aku tidak suka. Ia selalu membuatku tenang dan nyaman, tapi dia selalu
menyembunyikan semuanya dariku.
“Tidak, aku baik-baik saja. Kau tidak usah khawatir,
Glite.” jawabnya sambil tersenyum manis menatapku, siapapun pasti akan
membalasnya begitu juga denganku. Tapi, beberapa menit kemudian dia menangis
tanpa sebab.
“Kau kenapa, Jew?” tanyaku bingung.
“Maafkan aku, aku sungguh minta maaf. Seharusnya, ini
tidak terjadi pada persahabatan kita. Mulai sekarang, kita tidak usah saling
menyapa lagi, saling membalas senyum, apalagi kita saling memperbaiki hubungan.
Kau boleh membenciku, tapi inilah yang terbaik bagi kita berdua. Kita nggak mau
hubungan kita rusak lagi bukan, maka dari itu hubungan kita cukup sampai
disini!” katanya bak artis profesional sambil menyeka air mata sembari berlalu
dan meninggalkanku.
“Eh, apa yang kau .. , apa yang sebenarnya terjadi?”
kataku dengan bingung, sebelum pada
akhirnya aku juga meninggal tempat itu.
“Ah, itu dia!” kata seorang wartawan.
“Dimana, dimana?” kata wartawan lainnya.
“Oh, aku melihatnya! Ayo, kita segera
menghampirinya!”
“Queen, terimalah bunga ini sebagai tanda cintaku!”
“Tidak, kau milikku seorang!”
Wartawan dan para penggemarku langsung menyerbuku
dengan seribu pertanyaan bak gula yang didatangi segrombolan semut, tapi
pertanyaan itu seperti dengungan lebah di telingaku. Bukannya sombong, tapi Aku
dikenal sebagai the queen of CHES dan Jew sebagai the majesty of CHES. Aku
malas menjawabnya, kau tahu masih ada banyak pertanyaan yang aku mau tanyakan
padanya.
Jabatan itu aku dapat ketika aku
mendapat beasiswa penuh ke Jerman, meraih gelar sebagai artis pendatang baru
dengan kepintaran melebihi Einstein, dan prestasiku dibidang seni musik. Sedangkan
Jew ketika dia mendapat beberapa tawaran main film bersama artis ternama,
menulis karya ilmiah yang dibantu olehku, prestasinya di olahraga bela diri dan
tennis.
Dan tampaknya, Jew juga terjebak dalam kotak pandora
bersamaku. Aku berusaha menolongnya, tapi dia berusaha menghindariku dengan motto
“cepatlah pergi dari situ sebelum kau ditolong Gliters”.
“Hah~! Akhirnya, aku terlepas dari segrombolan
wartawan pagi ini.” kataku sambil menghela napas, setelah 15 menit berada dalam
kawasan perang.
“Eh, ada Ratu monyet! Sepertinya, kau kelelahan
gara-gara wartawan tak jelasmu. Mau kubawakan susu hangat buatmu, ahahaha..”
ejek salah satu siswa yang iri dengan jabatanku yang sekarang.
Biasanya, aku selalu ditolong oleh Jew tentang
persoalan yang sepele ini. Tapi, untuk sementara waktu aku tidak bisa mendapat
pertolongan itu. Aku dengan sinisnya menatap mereka, pagi-pagi sudah bikin
orang naik darah.
“Oh, dimana pahlawan kesianganmu. Bukannya kau
selalu ditolong olehnya, dasar lemah?!” katanya sambil menarik kerah bajuku
dengan kasar dan bersiap untuk menghajarku.
“Hey, lepaskan tangan kotormu dari tubuhnya atau kau
akan mendapat akibatnya!” kata Jew yang tiba-tiba bersiap mengeluarkan pukulan
palunya.
“Ini dia yang kita tunggu-tunggu, pahlawan
kesianganmu akhirnya datang! Kita jumpa nanti lagi, Queen! Urusan kita belum
selasai, ingat itu!” kata mereka ketakutan dan segera melepas cengkramannya
dari bajuku. Aku terlepas berkat Jew, tapi kenapa dia mau membantuku?
“Dasar pencundang! Makasih untuk sekali lagi, Jew!”
“Tidak, aku hanya akting! Bersikaplah seperti biasa,
aku hanya tidak mau kau terluka gara-gara mereka mengharapkan kehadiranku!”
Deg.. Jew memang benar-benar mau aku pergi jauh dari
hidup, bahkan persoalan begitu dia bisa-bisanya akting. Sahabat macam apa itu?!
Maafkan aku, Glite! Sebenarnya, aku bertingkah
selaknya sebagai sahabat sejati dan aku hanya tidak tahan melihatmu diganggu
oleh anak lain selain aku. Aku mau menjaga persaanmu, tapi sepertinya aku
keterlaluan untuk membuatmu ingin meledak karena tingkah lakuku. Maafkan aku,
karena aku tidak bisa menjadi malaikat pelindungmu lagi. Aku mempunyai urusan
di luar sana yang harus dilakukan, aku tidak bisa meninggalkan urusan itu.
Aku sebaiknya menjauh darimu, dengan begitu kau
tidak akan menanggung semua rasa sakit itu. Terima kasih, kau sudah
menyempatkan untuk peduli setiap waktu padaku. Jadwal kita sungguh padat, tapi
kau tetap mau menemaniku untuk menjalankan itu semua. Padahal, aku sering absen
untuk menyemangatimu. Entah itu sudah kesekian kalinya, tapi kau tetap memaksa
untuk memberi dukungan padaku.
Kring.. kring.. kring.. Bel pulang sekolah pun
berbunyi, saatnya kita semua melepas penat di kelas. Jew masih saja menjaga
jarak dengan Gliters, itu ditunjukkan dengan sifat dan perilaku Jew yang memang
mau menjauhi Jew.
Aku terus berpikir, kenapa dia seperti itu hari ini?
Apa salahku, sepertinya aku tidak membuat salah hari ini? Apa aku salah bicara
padanya, tapi sepertinya dia mengetahui sifatku yang ceplas-ceplos? Apa aku menyinggung perasaannya, tapi
kelihatannya tidak seperti itu?
Jew apapun yang kau sembunyikan dariku, aku pasti
akan mencari tau. Kau hanya perlu bersabar, sampai aku menemukan jawaban dari keraguan
ini.
Ketika aku melihat Jew, aku langsung membututinya
dari belakang dan tentu saja pakai penyamaran yang lengkap. Aku sudah
menyiapkan kacamata hitam, syal yang serasi, dan topi yang bisa menutupi
wajahku.
“Pokoknya, aku harus mencari tau apa sebabnya dia
menjauhiku! Tidak akan kubiarkan dia merusak hubungan kita! Awas saja nanti,
semuanya akan terungkap dalam sekejap! Hoho..”
Aku sedang asyik tertawa licik, tapi sepertinya Jew
menyadari kehadiranku. Dia langsung cepat-cepat pergi dari situ, kemudia dia
mencegat taksi. Aku tidak mau kalah dengannya, oleh karena itu aku juga
mencegat taksi yang berikutnya.
“Ayo, Pak! Kejar taksi yang di depan itu, ya! Akan
kubayar 5.000 won, asal bapak bisa mengejarnya dan memberhentikan taksi itu.
Oke?”
“Baiklah, apa pun yang kau minta nona manis!”
Dia segera menancap gasnya untuk mengejar taksi yang
ditumpangi Jew, sepertinya usahaku akan berhasil kali ini. Tunggu aku, Jew!
Akhirnya, taksi itu berhenti di dekat taman kota.
Aku lega, karena aku bisa mengejarnya lebih mudah daripada harus memakai
kendaraan. Aku juara olimpiade lari waktu SD, karena itu sepertinya aku bisa
berlari lebih cepat untuk mengejar Jew. Aku membayar ongkos taksi, lalu
bergegas untuk mengejarnya.
“Hey! Tunggu aku, Jew! Jew! Jewel, apakah kau
mendengarkanku?” hardikku dengan keras sehingga Jew berhenti melangkah.
“Mau apa kau, ‘kan sudah aku bilang aku tidak mau
bertemu denganmu lagi! Apa kau tidak dengar, apa jangan-jangan telingamu yang
bermasalah?!”
“Hey, dengarkan baik-baik! Aku bisa mendengar sangat
baik dan kupingku tidak bermasalah, mungkin kau salah menilaiku!”
“Lalu, untuk apa kau kesini?!”
“U, untuk mengejarmulah! Mau apalagi selain itu,
haa?!”
“Kau ini benar-benar tuli, ya! Aku tidak mau kita
berhubungan lagi, kau mengerti?!”
“Kalau aku tidak mau bagaimana, ‘kan kau tidak punya
hak untuk melarangku!”
“Aku memang tidak punya hak, tapi aku tidak mau
bertemu denganmu lagi!”
“Hey, bodoh! Apa sebabnya kau tidak mau bertemu
denganku lagi, aku salah apa sampai kau tega untuk membentakku seperti ini?!”
“Jagan bilang aku bodoh, dasar bodoh! Memang kau
siapaku, berani ngatur kehidupanku?! Suka-suka akulah, aku mau membentakmu
ataupun aku tidak mau bertemu denganmu lagi yang menentukan juga aku sendiri.”
“Itu bukan jawaban yang logis, kau tidak bisa
menyebut dirimu sebagai penulis karya ilmiah begengsi.”
“Cih, dasar keras kepala! Kau tak tahu bagaimana
jadinya nanti, setelah kau berusaha untuk memperbaiki keadaan ini!”
Perang mulut pun dimulai, orang yang ada di sana
semua menyaksikannya. Karena kita itu Qn. dan Mj., banyak wartawan juga
berkumpul disana. Aku sudah muak dengannya, sebaiknya aku pergi daripada aku
mendapat masalah yang lebih serius!
Pagi harinya, aku ke sekolah dengan wajah yang
ditekuk. Aku malas bertemu dengannya, apalagi kita itu sekelas. Hah~, aku harus
menahan emosiku sepanjang hari ini. Semoga, aku tidak mendapat insiden sama
seperti kemarin. Tapi, aku beruntung karena dia tidak masuk hari ini karena
sakit flu.
Berhari-hari lamanya, sampai dia mempunyai setumpuk
pekerjaan rumah. Separah itukah flunya, aku menjadi cemas dengan keadaannya.
Apa karena salahku kemarin, tapi masa’ flu separah itu. Apa mungkin aku harus
ke rumahnya, tapi nanti mau ngomong apa? Ah, sudalah yang penting aku ke
rumahnya dulu.
Tiba di rumah Jew, aku segera membunyikan bel
pertama tapi tak ada jawaban. Bel kedua sampai bel kelima juga tidak ada
jawaban, kemudian ada seorang yang memberitahuku bahwa Jew dan keluarganya
sudah pindah ke New York. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya, aku pulang
dengan baju kusut dan mata lembam.
Akun facebook, akun instagram, akun twitter, dan
semua akun social medianya sepertinya sudah tidak aktif lagi. Yang terkahir aku
lihat sekitar satu hari sebelum hari ini, ternyata semua itu sudah di blokir
sama Jew sendiri. Kau kenapa Jew, aku salah apa?
Aku mempunyai pendapat, sebaiknya aku segera
menyusul sekaligus menjenguknya ke sana. Tapi, aku harus memakai uangku sendiri
untuk pergi kesana dan aku harus menabung!
Ngung.. ngung.. ngung.. Suara pesawat yang sedari
tadi bergantian berlalu mulai terdengar di telingaku, aku akan terbang ke New
York dan menyusulnya. Dengan uang hasil melukisku dan tabunganku selama 8 tahun,
akhirnya aku bisa terbang ke New York.
Dengan harapan bisa menemukannya selepas
kepergianku, aku segera check in di pesawatku. Aku membawa sebuah koper yang
cukup besar berwarna pink neon dan sebuah tas kecil selempang berwarna putih
dengan beberapa pita dan manik-manik sebagai pemanisnya.
Untunglah, aku punya dua (satu wanita dan satu pria)
orang assintant pelukis. Karena aku akan megunjungi kota yang jauh dari Inggris,
tidak ada salahnya kalau aku menambah satu orang lagi sebagai assintantku. Kwon
Shin Ah dan Zondiastha Eclare de Track, Shina hanya sebagai pengangkat barang
bawaanku dan N’Re.
N’Re berperan sebagai assintant utamaku sekaligus
teman curhatku, semua masalah kuceritakan kepadanya. Menurutku, dia adalah
pendengar yang sangat baik bagiku. Dia juga sering menasehatiku dan memberi
arahan tentang jadwalku yang sungguh padat, sehingga aku bisa mendapat cukup
waktu untuk beristirahat. Ya, hitung-hitung sebagai pengganti orang itu di kala
aku merindukannya.
Sampai pada waktunya aku akan meninggalkan Inggris
untuk sementara, pesawat yang aku tumpangi akan segera berangkat. Baju wol
leher panjang dengan dipadukan blazer hitam, serta jins panjang dan Nike Free 5.0 menghiasi
tubuh indahku.
Sampai di New York, aku segera check in di hotel.
Setelah menaruh barang bawaan di hotel, sepertinya aku butuh udara segar untuk
mengilangkan kepenatanku selama aku berada di pesawat tadi dan tidak lupa untuk
membawa perlengkapan melukis.
Salju turun dengan lembutnya, putih bersih tak
bernoda. Sayang, seorang gadis yang penuh dengan pesona duduk tak ditemani siapapun.
Aku hanya bisa melukisnya, karena aku tak kuasa melihat kecantikan gadis itu di
dunia nyata. Ini untuk pertama kalinya aku melihat perempuan secantik dia dan
aku hanya bisa melukisnya, untuk sementara biarlah seperti ini.
Aku adalah pelukis dari Inggris yang datang
jauh-jauh ke New York hanya untuk mencari sensasi baru untuk karyaku yang
berikutnya sekaligus untuk mencari orang itu, dengan berbekal cat warna dan
soret bak pelukis handal aku siap melukis di pagi yang dingin ini.
Aku ingin sekali menemaninya, tapi mungkin dia
keberatan kalau aku yang menemaninya. Aku kenal sekali dengan perawakannya, dia
seperti sahabat dari kecilku di Inggris yang menghilang setelah kita
mendapatkan insiden di SD. Aku dengar dari orang yang bertetangga dengan Jew,
katanya dia pindah ke New York untuk beberapa saat sebelum pada akhirnya dia
membuatku ikut mencarinya.
Aku hanya bisa menunggu dan hanya itu yang bisa aku
lakukan, tapi dia tak kunjung datang dan memberiku semangat lagi. Dari situ,
aku mulai berpikir kalau dia tidak mencintaiku lagi sepenuhnya. Masa depanku
tidak ada artinya tanpa dia, karena dia adalah sumber dari kerja kerasku selama
aku di sekolah. Dan dari situ juga, aku termotivasi untuk menjadi gadis muda
yang sangat bersinar di dunia seni. Oleh karena itu, aku bisa mewujudkan impian
untuk menyusulnya ke New York.
“Permisi, apa aku mengganggumu?” tanya N’Re.
“Oh, ternyata kau rupanya. Tak apa, bicaralah.”
“Aku kesini hanya untuk memberitahumu, bahwa hotel
kita sudah siap.”
“Baiklah, tapi aku masih ingin di sini.”
“Sebelum itu, minulah kopi ini. Di sini sangat
dingin, sebaiknya kita masuk.”
“Tak apa, aku ‘kan sudah dapat kopi hangat dan itu
cukup untuk aku bertahan di sini untuk beberapa saat. Kau pasti capek,
istirahatlah dulu di Hotel.”
“Ya, kau bisa jaga diri ‘kan?”
“Sudahlah, aku bukan anak kecil lagi.”
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Ah, mau apa dia pagi-pagi begini? Melukis, yang
benar saja?! Di sini sangat dingin, masa’ dia tak merasakan angin ini mulai
menusuk tulang-tulangku. Cih, dasar keras kepala! Hah~, untung aku waktu SMP
pernah berada di New York untuk sementara. Yah, setidaknya bisa bertahan lama
jika tidak ada kejadian itu.
“What?! Kau bilang aku apa tadi, Re?!” tanya gadis
itu marah.
“The queen bitch, so what?”
“Katakan sekali lagi, aku belum dengar!”
“Queen Bitch! Jelas?!” kata Re sambil mendorong
tubuh gadis itu.
“What the hell, kamu ngajak aku berantem?! Baiklah,
apapun keinginanmu saat ini!” kata gadis itu sambil menjambak rambut Re.
“Kyaah..” teriak Re sambil ikut menjambaknya.
“Stop, apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?”
“Bapak nggak usah ikut campur masalah kita, pergi
sana!” bentak mereka berdua.
“Cukup, kalian berdua ikut bapak ke kantor!” kata
kepala sekolah marah.
Mereka berdua diseret ke ruang waka kesiswaan, tapi
untung saja tidak sampai serius karena merekalah yang telah membawa nama baik
sekolah. Kepala sekolah pun hanya bisa mengampuni mereka, kalau saja mereka
tidak hebat mereka akan di keluarkan pihak sekolah langsung hari itu juga.
Lusanya, waktu masih berputar seperti biasa. Tapi,
apakah kalian tahu? Re diajak oleh kedua orang tuanya kembali ke negara
asalnya, yaitu Inggris. Dia mau saja di ajak ke London, karena dia masih belum
melupakan kejadian pahit itu. Akhirnya, dia terbang ke London dan memutuskan
untuk menetap di sana. Ah~, semoga di London dia bisa melupakan kejadian pahit
kemarin lusa. Dia hanya tak mau bertemu dengan gadis itu, hanya karena masalah
sepele.
Mimpi buruk yang tak akan pernah terulang lagi,
semoga saja tidak terulang. Sebernarnya aku tidak mau bertengkar dengannya,
tapi dia telah merebut semua apa yang telah kumau. Ya, sepertinya aku iri
melihat gadis itu dengan segala kesempurnaannya.