Kamis, 16 Februari 2017

Sweet Cupcakes

"Bukan, bukan begitu." kataku sambil mengambil alih pekerjaan mengaduk adonan cupcake.

Saat ini, aku sedang membantu Glite untuk membuat sebuah choco cupcake yang sangat simple.
Tapi karena sedari tadi dia tak bisa diandalkan, aku terus saja mengulangi kata-kata "salah" dan "bukan'. Dan yeah, ini pertama kalinya Glite melakukan pekerjaan wanita yang sesungguhnya.

"Aduh..., aku jadi bingung sendiri hanya karena cupcake," resahnya. "Kalau tahu ini akan serepot itu, aku tak akan menerima tawaranmu tadi," lanjut Glite.
Sekarang, dia memilih untuk menarik salah satu kursi yang ada di sana dan duduk sambil mengamatiku.

"Jew, apa kau tak capai?" tanyanya.

"Tidak," jawabku cepat. "Aku malah senang melakukan ini. Tidak seperti seseorang yang cepat menyerah pada pekerjaan yang kecil seperti ini, bukankah begitu?" tanyaku menyindir.

"Yah! Seseorang itu aku, bukan?"
"Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa?"

"Okay, okay. Aku akan mencobanya sekali lagi. Kau puas?"

"Nah, begitu dong! Itu baru namanya Glite unnie yang aku kenal, fighting!"

"Ye, ye. Fighting~!!"

Dia pun beranjak dari tempat duduknya dan kembali pada adonan cupcake yang baru setengah jadi itu, lalu aku menyuruhnya untuk mencoba mengaduk adonan itu sekali lagi.

"Ini tadi arahnya ke mana, Jew?"

"Ohh.. kalau itu ke kanan, kau bisa 'kan?"

"Ne, semoga saja begitu."

"Bisa, bisa. Huh, dasar kau ini! Selalu menyerah dulu sebelum mencoba sesuatu, lalu kau mau tak menyerah dalam hal apa?"

"Emm.. dalam hal apa, ya?" dia malah bertanya balik padaku, tapi Glite lalu melirikku. "Dalam hal.., mencintaimu? Mungkin?" tambah Glite sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Yah! Menjauhlah! Aku tak sedang dalam mood melakukan itu denganmu, okay?"

Dia malah terkekeh melihatku yang salah tingkah sendiri, lalu dia mencoba untuk menggodaku lagi.

"Saranghae, Jew!" teriaknya.

"Berisik! Diamlah!"

"Neomu neomu saranghae, Jew!" katanya yang disertai dengan love sign.

"Aishh.. unnie, kau harus fokus!" ketusku sambil menepis love sign itu.

"Kekeke.. kau terlalu lucu, Jew."

Kini, kami berdua benar-benar dalam lingkup fokus yang besar. Kami tak mau cupcakes yang sudah susah payah dibuat menjadi sia-sia hanya karena gosong, lalu pasti akhirnya kita buang.

"Jew, ini suhunya seberapa?"

"Itu biar aku saja, Glite!" celetukku setelah selesai merapikan adonan tepung.

"Ahh.. aku saja," Glite mulai seperti anak kecil sekarang.

"Jangan!" cegahku.

"Lhoh, memangnya kenapa?"

"Nanti gosong, unnie. Sudahlah, biar aku saja yang menekan ovennya."

"Ahh.. aku saja, aku ingin mencobanya. Dan katamu, aku tak boleh menyerah dan harus mencobanya
dahulu."

Mendengar perkataannya, aku hanya bisa mengusap pelipisku sendiri. Bagaimana tidak, kalau yang mengatakan itu juga aku sendiri tadi. Aku meliriknya malas, lalu dengan berat hati aku mengatakan aturan suhunya.

"Aishh.. jinjja. Baiklah, baiklah. Atur suhu menjadi 140°C, panggang cupcakes selama lima belas menit," kataku pasrah.

Dia tersenyum, lalu melakukan apa yang aku katakan tadi dengan sumeringah.

"Selesai!"

"Yayayaya, terserahlah."


========= the end ========

Tidak ada komentar:

Posting Komentar